Menjadi single parents atau Menikah lagi?

Berkeluarga adalah fitrah bagi setiap manusia. Tujuannya tidak saja melahirkan generasi penerus, tetapi juga menciptakan suasana sakinah, mawadah dan rahmah sepanjang masa. Namun siapa yang bias mengelak manakala takdir Allah berkehendak. Di tengah sumringahnya keluarga tiba-tiba harus menerima takdir harus kehilangan salah seorang ayah sebagai figure keluarga yang telah dipanggil Allah, atau mungkin lantaran beberapa masalah yang menyebabkan perceraian, keutuhan keluargapun menjadi sirna. Dalam kondisi seperti itu, seorang ibu atau ayah, berada pada posisi sebagai pengasuh tunggal (single Parents).

Bagi yang terpaksa mengalaminya, sebaiknya tak perlu terpuruk lama-lama. Ia harus bangkit dan membuat satu keputusan dan membenahi langkah-langkah. Kehidupan single Parents tidak semudah yang dibayangkan. dibutuhkan mentalitas yang kuat.

belum lagi ditambah dengan perubahan sifat dan emosi anak yang belum bisa menerima ayah dan ibuny aberpisah. ia akan merasa terpukul. Kemungkinan besar tingkah lakunya berubah. Ada yang menjadi pemarah, ada yang suka melamun, mudah tersinggung, suka menyendiri dan sebagainya.

Menurut teori Sigmud Freud, perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga subsistem dalam kepribadian: id (animal), Ego (rasional) dan Superego (moral). Id bagian dari kepribadian yang di dalamnya terdapat dorongan biologis manusia (hawa nafsu). Ada dua insting dominan: thanatos, insting destruktif dan agresif yang merupakan insting kematian,dan libido, insting reproduktif yang menyediakan energy dasar untuk kegiatan-kegiatran konstruktif. Dapat disebut juga insting kehidupan (eros), yang menurut Freud bukan hanya meliputi dorongan seksual, tetapi juga menyangkut kasih ibu, kasih ayah, kebutuhan religi, dan cinta diri (narcissism).

Anak yang ber prilaku aneh seperti menyendiri, marah-marah, mudah tersinggung, melamun, disebabkan insting kehidupannya tidak terpenuhi. Kenikmatan kasih saying yang ia peroleh saat kedua orang tuanya masih utuh, tidak dapat ia rasakan lagi. Bila kesenangannya tidak terpenuhi, ia akan kecewa. Sehingga dengan marah-marah,, menyendiri, melamun, ia melepas kekecewaannya.

Perilaku demikian wajar. Taoi, hal penting perlu diperhatikan bagi oran tua tungal, bila prilaku anak sudah di luar batas, ia bias kehilangan control diri. Yang menyedihkan bila anak selalu menyendiri dan memakai obat-obat berbahaya dan narkotika sebagai pelampiasan rasa kecewanya.

Sekali lagi, menjadi oraqng tua tunggal tidak mudah. Banyak yang harus diperhatikan, terutama factor psikis anak dan kesiapan mentalitas orang tua tunggal. Lebih bijaksana, orang tua tunggal bila dalam kondisi memungkinkan, ia mengakhiri kesendiriannya dengan menata kembali keutuhan keluaraga (menikah).

Dr. Muslih Abdul Karim, pemerhati masalah keluarga mengatakan, “islam adalah agama bijak. Anjuran hidup tidak sendirian (menikah) adalah anjuran islam. Seorang muslim yang mampu dianjurkan menolong janda-janda dengan menikahi mereka. Fitrah manusia memang harus menikah, tidak bias sendirian. Meski mereka ini single Parents menjadi gaya hidup dunia barat, tetapi dalam kondisi tertentu islam dapat menolerirnya. Tentu, ini berlaku bila menikah itu menjadi lebih ber madharat dari pada mendatangkan manfaat. Yang harus kita pahami adalah hukum nikahit sendiri beraham. Ada yang wajib, sunah, makruh dan haram semua tergantu dalam kondisinya.”

Dalam penjelasan lebih lanjut, muslih mencontohkan seorang ulama besar yang hidup single Parents hingga akhir hayatnya, seperti Imam Nawawi Al-Baghdadi.”Sebenarnya, hidup sendiri itu merupakan pilihan hidup. Sah-sah saja bila seseorang melakukannya sepanjang tidak mengklaim bahwa itu sebagai bentuk kekecewaan atau menjadi keyakinan ideology,” paparnya.

Ustadz Thabrani Syabirin, MA wakil ketua majlis tabligh dan dakwah khusus pimpinan pusat Muhammadiyah berkomentar senada. “kalau kita ingin mengikuti syare’at nabi saw dan para sahabat, lebih baik bila menikah lagi dijadikan pilihan utama. Karena di sana banyak manfaat dan maslahatnya. Sahabat umar saja pernah mengatakan, “sendainya kiamat akan dating 3 hari lagi dan ketika itu aku sedang sendiri (single Parents), maka aku akan segera menikah, “ begitu pula dengan sikap Abu Hanifah yang menikah pada sore hari sedangkan istrinya baru saja dikuburkan siang hari.” Demikian papar ustadz beristri 3 ini.

Ustadzah Hj. Herlini Amran, MA seorang pemerhati masalah keluarga lainya, lebih memandang bahwa single Parents merupakan persoalan syakhsiyah (individualistis). Ia bias menjadi pilihan hidup bagi seseorang sepanjang nilai-nilai maslahatnya jauh lebih baik dari pada madharatnya dan dilakukan selaras dengan nilai-nilai syar’i. kemaslahatannya hanya dapat direalisasikan bilanilai-nilai keislaman ditanamkan secara baik dalam keluarga.