Cemburu itu Baik apa Buruk sih?



Mas lagi dimana, sama siapa, ngapain, pulang kapan????????
Pernahkah anda mendapatkan serentetan sms atau telepon langsung dari pasangan anda yang kurang lebih sama dengan kalimat di atas? Jika iya, wajar bila sekali waktu anda merasa jenuh dan lelah dengan lontran kalimat-kalimat tersebut. Terlebih dilakukan secara berulang-ulang. Seolah-olah anda layak dijadikan target investigasi pasangan anda.
Dari sudut pandang yang negatif, anda secara tidak langsung telah dituduh sebagai pelaku penyimpangan, sehingga dirasa mengancam positioning pasangan terhadap anda. Sekalipun kebenaran penyimpangan yang dialamatkan kepada anda belum terbukti. Baru sebatas dugaan. Namun karena anda adalah pasangannya, maka dia merasa berhak untuk tahu
Jadi bukan suatu hal yang aneh jika pasangan anda mencuri-curi waktu untuk mengecek isi dompet anda. Hanya sekedar ingin tahu. Masihkah foto dia berada dalam dompet anda stsu sds foto lsin ysng lebih muds dsn csntik. Bukan hal yang tsbu pula manakala sms di hp anda juga diselidiki.
Kesemuanya itu dilakukan semata-mata hanya untuk memastikan masihkah anda menempatkan dia di singgasana hati anda yang paling tinggi? Dia begitu khawatir jangan-jangan ada madu hati lain yang sudah merebut hati anda.
Dalam medan rumah tangga bis dibilang inilah fenomena cinta dan cemburu. Sebuah irisan perasaan yang kadang membuat dilematis. Salah sedikit saja menempatkan dua perasaan tersebut, maka fatal akibatnya. Kecemburuan adalah fitrah yang dimiliki oleh seseorang sebagai bentuk rasa cinta, sayang, saling memiliki, melindungi dan peduli terhadap pasangannya. Hanya saja tak jarang seseorang memiliki kecemburuan kelewat batas. Sebuah perasaan yang sudah menenggelamkan akal sehat, sehingga dominasi kecemburuan yang berlebihan inilah yang sering kali memantik tragedi dalam kehidupan rumah tangga.
Sudah berapa banyak pemberitaan media massa yang menyajikan kasus pembunuhan akibat api cemburu. Entah dari pihak siapa yang memulai, suami atau istri, namun yang pasti satu di antara keduanya harus meregang nyawa. Inilah bentuk pertaruhan bagi mereka yang tidak bisa menjaga keutuhan cintanya pada pasangan hidup. Selain itu boleh jadi inilah ekspresi dan refleksi cemburu yang tidak pada tempatnya.
Manajemen cemburu
Sekali lagi cemburu itu adalah fitrah yang diberikan kepada manusia dan lahir dari beraneka faktor. Namun, meski menjadi fitrah, kadang justru manusia itu sndiri yang kurang tepat dalam memaknai sekaligus memperlakukannya. Dari aspek internal, bisa jadi kita tidak mampu mengendalikan rasa cemburu dengan bijaksana, sehingga kita begitu gampang kehilangan kepercayaan pada pasangan hidup. Terlebih jika kita larut mengikuti bisikan tetangga yang belum tentu benar.
Adapun secara eksternal memang tidak menutup kemungkinan ada ragam indikasi yang bisa membenarkan bahwa pasangan kita layak untuk dicemburui, dicurigai ataupun diwaspadai. Hal ini bisa diukur melalui penampilan, kegenitan, prilaku dan watak dasar dia yang memang mata keranjang.
Kecemburuan  berlebihan yang bersemayam dalam hati ibarat duri dalam daging atau kabut hitam yang menyelimuti perasaan dan pikiran. Jika tidak segera dihilangkan, maka selamanya akan mengganggu romantisme kitadengan pasangan. Karena itu idealnya butuh proses-proses yang dewasa dan bijak untuk menyelesaikannya melalui mekanisme klarifikasi, koreksi, maupun intropeksi. Hal itu tentunya juga harus ditopang dengan kelegaan hati dan jiwa yang lapang, sehingga akan menghindarkan suasana batin yang saling menyalahkan.
Klarifikasi dalam artian komunikasi langsung, merupakan cara efektif untuk menghentikan laju kecurigaan sebelum semuanya benar-benar menguras energi. Jika kita mampu menjaga komunikasi dengan baik, maka rasa cemburu itu bisa menjadi bunga cinta, bukan bunga kecurigaan. Komunikasi disini termasuk mau menjadi pengedar yang baik. Lebih baik mendengarkan daripada menuntut untuk didengarkan. Sikap ini akan memudahkan kita menerima argumentasi pasangan tanpa gampang terpancing untuk buru-buru menyangkal atau menuduh. Kita pun akan mendapat informasi yang aktual, lengkap, dan bisa dipercaya. Bila kita saling percaya maka penjelasan dari pasangan sudah cukup untuk menyingkirkan kecemburuan.
Dari hasil komunikasi itulah kita bisa sama-sama mengoreksi diri sekaligus mawas diri. Layak kiranya jika kita mulai bertanya pada diri sendiri, sejauh ini sudahkah kita benar-benar mengenali pasangan hidup kita? Kelebihan kekurangannya, hobinya, hal yang tidak disukai, dll. Boleh jadi meski sudah hidup bersama pasangan selama bertahun-tahun, ternyata kita kurang mengenali siapa dirinya yang sebenarnya. Kondisi seperti aini akan menumbuhkan kecemburuan yang sifatnya merusak.
Kalirfikasi, koreksi dan intropeksi diri kurang sempurna jika tidak diakhiri dengan mencairkan suasana melalui sikap saling memaafkan dan melupakan kesalahan pasangan. Jangan biarkan dendam atau emosi menguasai pikiran dan hati kita. Kebersamaan jiwa untuk memaafkan dan ketulusan hati melupakan kesalahan akan membuat pasangan semakin menyayangi kita.
Antara malu dan cemburu
Sebenarnya tidak semua cemburu itu membawa kerugian. Sebeb, rasa cemburu adalah potensi jiwa yang bisa dipakai dan dikelola pada tempatnya justru akan menjadi kontrol positif. Bukan menjadi sikap negatif yang kontra produktif.
Imam munawi dalam kitab Al-Faidh mengatakan bahwa wanita paling mulia adalah wanita yang paling pencemburu pada tempatnya. Maka dari itu, sifat orang beriman yang cemburu pada tempatnya adalah sesuai dengan sifat yang dimiliki Rabbnya. Siapa yang mempunyai sifat-sifat menyerupai Allah kecuali sifat yang tidak boleh selain Allah yang memiliki, maka sifat tersebut dalam perlindunganNya dan mendekakan diri kepadaNya.
Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Allah itu memiliki sifat cemburu dan orang-orang iman juga memilikinya. Adapun rasa cemburu Allah ialah ketika melihat seorang hamba yang mengaku beriman kepadaNya melakukan sesuatu yang diharamkanNya” (HR. Bukhari & Nasa’i).
Kehilangan rasa cemburu dan ketidak pedulian pada pasangan hidup dan keluarga dengan mengacuhkan penampilan, prilaku dan aktifitas mereka tanpa kendali dengan dalih saling percaya, realitasnya justru mengundang fitnah. Sikap tersebut juga tidak dibenarkan dalam islam karena menyebabkan kehormatan diri dan keluarga tergoda.
Semua itu akibat diri hilangnya sifat malu. Padahal malu adalah salah satu cabang keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Maka barang siapa yang kurang rasa malunya bebrarti bukti lemah imannya”.  Dan “ tidaklah muncul rasa malu kecuali dengan kebaikan”.
Banyak harkat dan martanat suami istri hancur, lantaran satu diantara keduanya tidak mampu menjaga sifat malu. Masing-masing pasangan dengan begitu mudahnya membiarkan diri mereka masuk dalam pusaran lingkungan yang batas-batas syar’inya memudar. Terkadang malah sengaja menabrak rambu syare’at. Akibatnya lembaga perkawinan yang dijalani hanya sebatas formalitas. Suami istri tidak lebih hanya sebagai penanda setatus. Tipisnya rasa malu menandai semakin berkurangnya kadar kecemburuan.
Sementara Nabi SAW melaknat perangai dayyusts,  yakni hilang rasa cemburu pada keluarga agar tidak jatuh kepada kemaksiatan. Beliau bersabda “Orang-orang mukmin itu pencemburu dan Allah lebih pencemburu”. (HR. Muslim). Hal ini mengindikasikan bahwa cemburu itu penting dan perlu, bukan dihilangkan. Cemburu yang dimaksud tentunya cemburu yang proporsional. Cemburu yang lebih bersifat menjaga kehormatan diri dan martabat keluarga sekaligus menjauhkan kehidupan dari perkara yang dilaknat Allah.
Sa;ad bin Ubaid berkata “andai aku mendapati seorang lelaki bersama istriku, pasti ia akan kutebas dengan mata pedangku, “Nabipun bersabda,” apakah kalian kagum dengan kecemburuan sa’ad? Sesungguhnya aku lebih pencemburu darinya,  dan Allah lebih pencemburu dariku” (HR. Bukhari & Muslim).
Artinya inilah cemburu yang positif. Cemburu yang didasari atas cinta (mahabbah) dan keimanan terhadap Allah swt. Bukan perwujudan luapan emosi hawa nafsu dan egoisme pribadi. Cemburu demi kebenaran dan ketaatan terhadap Allah Swt. Merupakan dasar perjuangan amar ma’ruf nahi munkar . untuk itu apabila kita terdapat kecemburuan dalam hati seseorang yang beriman, maka dapat dipastikan tidak ada dorongan untuk ma’ruf nahi munkar padanya dalam sekala lebih luas yang dimulai dari diri dan keluarganya.
Sebaliknya kecemburuan akan merenggangkan tali cinta kasih suami isteri dan mengganggu ketentraman keluarga, bahkan berniali maksiat dan dibenci Allah, juka hal itu hanya mengada-ada , su’udzan, curiga tak beralasan serta cemburu buta. Rasulullah bersabda “Sesungguhnya cemburu itu ada yang disukai Allah dan ada yang dibenci Allah. Adapun kecemburuan yang disukai adalah kecemburuan pada hal-hal yang pasti, sedangkan yang dibenci olehNya adalah kecemburuan pada hal yang tidak pasti”. (HR. Ahmad).
Dengan demikian rasa cemburu dapat dikategorikan menjadi dua macam. Pertama, adalah cemburu yang merupakan fitrah manusia, yaitu cemburu netral yang dapat menjaga dan melindungi harga diri dan keluarga. Cemburu ini masuk dalam kategori akhlak mulia yang patut dimiliki oleh orang yangberiman.
Disebutkan dalam sebuah hadis “ada tiga golongan yang tidak akan masuk syurga yaitu peminum khomer, pendurhaka orang tua,  dan dayyuts. Kemudian nabi menjelaskan tentang dayyust, yaitu orang yang membiarkan keluargannya dalam kekejian atau kerusakan, dan keharaman.
Kedua, cemburu yang merugikan, dibenci dan terlarang, yaitu rasa cemburu tanpa alasan yang selalu menyiksa jiwa. Cemburu yang lebih mengikuti bisikan nafsu syetan.
Orang-orang yang mengagumi akhlak islam yang dibangun atas dasar  penjagaan kehormatan dan kemuliaan tentu akan memilih menjauh dari cemburu yang hanya berdasar prasangka. Mereka akan melakukan upaya preventif dari hal-hal negatif agar kadar kecemburuan yang sesuai fitrah tetap terjaga.
Sebauh kecemburuan yang keberadaannya menandakan masih berkobarnya api cinta pada pasangan. Sebuah kecemburuan yang penuh rahmat yang berorientasi pada kemaslahatan bersama pasangan. Hingga akhirnya semua bermuara pada satu titik, yakni dalam rangka ma’ruf nahi munkar, melindungi martabat diri an keluarga, serta mencegah potensi fitnah yang menodai kesucian keluarga berdasarkan bingkai baik sangka yang lebih mendahulukan niali-nilai keutuhan keluarga agar senantiasa dalam ridha Allah swt. Wallahu A’lam.