Menggugat Asas Dekonsentrasi Pendampingan Desa Versus Tugas Perbantuan

Menggugat Asas Dekonsentrasi Pendampingan Desa Versus Tugas Perbantuan - Program Pendampingan Desa merupakan amanat UU. Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Untuk menjalankannya, Pemerintahan Pusat menggunakan asas dekonsentrasi, yaitu satu dari tiga asas Pemerintahan Daerah. Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Dekonsentrasi juga bisa diberikan kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Dalam rangka dekonsetrasi, Presiden Jokowi telah mengeluarkan Perpres Nomor 12 Tahun 2015, sebagai dasar Kementerian Desa menjalankan program Pendampingan Desa. Pelaksanaan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa saat ini memasuki tahun kedua. Selayaknya sesuatu yang baru, pelaksanaannya banyak memunculkan hambatan dan tantangan. Dari yang berkaitan dengan regulasi, manajemen-koordinasi, hingga masih belum maksimalnya kapasitas birokrasi dan personal pelaksanaanya, baik di tingkat desa maupun birokrasi di atasnya.

Di Indonesia Penyelenggaraan Dekonsentrasi ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2001 yang berisi tentang pembagian wilayah dan wewenang yang harus dijalankan oleh badan-badan dari pemerintahan tersebut. Dalam peraturan ini, tentang wilayah dan wewenang Gubernur berbunyi: Provinsi mempunyai kedudukan sebagai Daerah otonom sekaligus adalah Wilayah administrasi yaitu Wilayah kerja Gubernur untuk melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan yang dilimpahkan kepadanya.  Berkaitan dengan itu maka Kepala daerah Otonom disebut Gubernur yang berfungsi pula selaku Kepala Wilayah Administrasi dan sekaligus sebagai wakil Pemerintah. Gubernur selain pelaksana asas desentralisasi juga melaksanakan asas dekonsentrasi. Besaran dan isi dekonsentrasi harus mempunyai sifat dekat dengan kepentingan masyarakat dan bermakna sebagai upaya mempertahankan dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Wilayah Negara Kesatuan RI dan meningkatkan pemberdayaan, menumbuhkan prakarsa, dan kreativitas masyarakat serta kesadaran nasional. Oleh sebab itu Gubernur memegang peranan yang sangat penting sebagai unsur perekat Negara Kesatuan RI. Di samping itu pertimbangan dan tujuan diselenggarakannya asas dekonsentrasi yaitu :
  1. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum;
  2. Terpeliharanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam system administrasi negara;
  3. Terpeliharanya keserasian pelaksanaan pembangunan nasional;
  4. Terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan RI.

(Sumber: wikipedia)

Universitas Diponegoro

Guru Besar Administrasi Publik, yang juga Ketua Program Doktor Ilmu Administrasi, FISIP Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Sri Suwitri menilai positif adanya program Pendampingan Desa. Karena masuk nomenklatur dekonsentrasi, Gubernur sebagai kepanjangan tangan Pemerintah Pusat di daerah tidak bisa menolaknya. Prinsip itu mestinya dipegang oleh birokrasi sebagai asas dasar penyelenggaraan pemerintahan.

Dekonsentrasi berbeda dengan tugas pembantuan (medebewind). Dalam rangka dekonsentrasi, anggaran, personil dan hingga regulasi teknis diwewenangi oleh Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah sebagai wakil pemerintah Pusat tinggal menjalankan, sebentuk pelimpahan sebagian wewenang. Tapi, kewenangan tetap ada di Pemerintah Pusat. Dalam maksud itu, daerah harus mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas ke Pemerintah Pusat.

Sebagai contoh, dalam soal penggunaan anggaran dekonsentrasi, Pemerintah Daerah harus meminta persetujuan dari Pemerintah Pusat, termasuk mengenai pengadaan personil. Dekonsentrasi dikucurkan ke Daerah dilengkapi dengan berbagai peraturan perundangan hingga yang bersifat teknis, seperti dalam bentuk Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis).

Menurut Prof. Dr. Sri Suwitri, skema dekonsentrasi dan juga dua skema lainnya: desentralisasi dan medebewind, pada dasarnya dimaksudkan sebagai sarana untuk memperkokoh NKRI, dalam bentuk konkrit yaitu meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa. "Dalam konteks hubungan Pemerintah Pusat dan daerah, formulasi apapun harus diupayakan untuk kesejahteraan dan kemajuan bangsa", penegasan Prof. Dr. Sri Suwitri. "Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, harus bersinergi dan berkomunikasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat", lanjutnya.

Menanggapi adanya penolakan gubernur atas pembiayaan oleh lembaga keuangan internasional, Prof. Dr. Sri Suwitri, menyarankan supaya gubernur mencari alternatif pembiayaan. tidak sekedar menolak. Sebagai warga negara yang kritis, gubernur bisa saja menolak dengan berbagai argumentasi . Akan tetapi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, program dekonsentrasi itu harus dijalankan. Karena kalau program Pendampingan Desa yang merupakan amanah UU No 6 tahun 2014 ini tidak berjalan atau berjalan setengah-tengah, maka dana ratusan trliliunan rupiah yang dikucurkan ke desa, bisa tidak maksimal.

Dalam rangka dekonsentrasi, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak bisa menolaknya. Hal ini berbeda dengan asas desentralisasi atau asas tugas pembantuan (medebewind). Desentralisasi merupakan wewenang yang diberikan penuh kepada Bupati atau Walikota sebagai kepala daerah. Sementara, dalam tugas perbantuan, apabila gubernur atau bupati/walikota menganggap dirinya tidak mampu menjalankan tugas yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, maka dia bisa menolak untuk menjalankan tugas perbantuan itu.

Pendampingan Desa yang sedang dilaksanakan saat ini adalah dalam rangka program dekonsentrasi. Pemerintah daerah sebagai yang menerima program dekonsentrasi, berkewajiban mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada Kementerian Desa. Anggaran dan personil sudah disediakan oleh Pemerintah Pusat, Daerah tinggal menjalankan. Begitulah konstruksi asas dekonsentrasi dalam Tata Pemerintahan di Indonesia.